Jakarta - Di tengah ancaman perubahan iklim dan ketimpangan pengelolaan sumber daya air, Indonesia kini menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan swasembada air. Meskipun dikenal sebagai negara tropis dengan curah hujan tinggi, pengelolaan air di Tanah Air masih dihadapkan pada persoalan serius: terlalu sedikit di musim kemarau, terlalu banyak di musim hujan, dan sering kali tercemar.
Data dari Food and Agriculture Organization Corporate Statistical Database (FAOSTAT) menunjukkan kondisi air di Indonesia tidak stabil. Sementara itu, platform Aqueduct dari World Resources Institute (WRI) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-10 dunia untuk risiko kekeringan, ke-14 untuk risiko banjir sungai, dan ke-55 untuk tekanan air (water stress).
Situasi ini menjadi semakin mendesak karena sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir yang rentan terhadap bencana akibat krisis iklim, seperti banjir, kenaikan muka laut, dan perubahan pola curah hujan. Bank Dunia bahkan mencatat sekitar 76 juta warga Indonesia dengan pendapatan di bawah USD 5,5 per hari hidup dalam risiko tinggi terhadap dampak banjir.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan bersama WRI Indonesia dan Water Stewardship Indonesia menggelar diskusi bertajuk “Aksi Kolektif untuk Swasembada Air” di Jakarta. Acara ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku industri, hingga komunitas masyarakat.
“Isu ketahanan air adalah tanggung jawab bersama. Kita sudah memiliki banyak data seperti RPSDA di tiap wilayah sungai, tapi informasi itu belum terintegrasi menjadi tindakan nyata. Ke depan, perlu satu rencana induk nasional seperti RUEN atau RUPTL di sektor energi agar informasi yang ada bisa diterjemahkan menjadi kebijakan konkret,” ujar Rachmat Kaimuddin, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
Swasembada air kini menjadi bagian penting dari kebijakan pembangunan nasional. Program ini mencakup pembangunan tampungan air, konservasi sumber daya air, pengelolaan risiko bencana, hingga penguatan sistem air minum dan sanitasi yang tahan terhadap perubahan iklim. Pemerintah juga menekankan pentingnya tata kelola terpadu serta kolaborasi lintas sektor, khususnya di kawasan pesisir utara Jawa yang menjadi salah satu wilayah paling rentan.
Menurut Tomi Haryadi, Direktur Food, Land and Water Programme WRI Indonesia, urgensi pengelolaan air di Indonesia tidak bisa diabaikan.
“Indonesia menempati peringkat keempat dunia untuk risiko banjir dengan sekitar 6 juta orang terdampak setiap tahun. Pada 2050, penurunan muka tanah dan banjir pesisir bisa menyebabkan kerugian hingga Rp100 triliun dan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1 persen PDB akibat kelangkaan air,” jelasnya.
Diskusi ini diharapkan menghasilkan kesepahaman bersama tentang arah kebijakan dan langkah strategis sektor air nasional. Hasilnya akan menjadi masukan penting bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta Kebijakan Nasional Sumber Daya Air (Jaknas SDA).
Dengan kolaborasi antarpihak dan komitmen kuat untuk beradaptasi terhadap krisis iklim, swasembada air diharapkan dapat menjadi fondasi bagi ketahanan lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di masa depan.
Tentang Penyelenggara:
Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, yang saat ini dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono, berperan dalam koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang infrastruktur nasional.
Sementara itu, WRI Indonesia dan Water Stewardship Indonesia merupakan lembaga yang fokus pada pengelolaan sumber daya air berkelanjutan serta kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat ketahanan air di Indonesia.
Komentar0