74HssqAmpAieSQYdpeY0UHJ3eJx0ro2Bjc2BCzNj
Bookmark

Hari Pers, Jurnalis Tuntut Kebebasan Berekspresi

MALANG, Indonesia — Badan dunia The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyerukan peringatan World Press Freedom Day (WPFD), atau Hari Kebebasan Pers Dunia yang jatuh setiap tanggal 3 Mei. Pada tahun ini, UNESCO menetapkan tema “Let Journalism Thrive! Towards Better Reporting, Gender Equality, & Media Safety in the Digital Age”, atau menuju proses reportase yang lebih baik, kesetaraan gender, dan keselamatan media di era digital.
Di berbagai daerah di Indonesia, kelompok jurnalis dari berbagai media nasional dan media lokal, mendukung peringatan ini, Minggu, 3 Mei 2015. Di Malang, Jawa Timur, contohnya, mereka mengutuk berbagai kriminalisasi pada pekerja pers, 8 kasus pembunuhan pada jurnalis yang tak terungkap, 80 kasus kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di Internet, serta pembatasan akses jurnalis di Papua.
“Kami sangat prihatin, di era pers digital dan kebebasan pers yang dirayakan seluruh dunia, masih ada bentuk pengekangan kebebasan baik di lingkungan kampus hingga di Papua,” kata Muhammad Zulfikar Akbar, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, yang ikut dalam aksi.
Zulfikar adalah salah satu mahasiswa yang merasakan mudahnya menjadi jurnalis di era digital seperti saat ini. Dia dan sekitar 13 temannya mendirikan situs independen bernama mediamahasiswa.com. Meskipun dikelola oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Malang, namun media ini menyebut diri sebagai media independen yang membiayai operasional dari berbagai pemasukan di luar bantuan dana dari kampus ataupun organisasi milik pemerintah.
“Kami sudah tiga tahun berdiri, total ada 50 orang, 13 di antaranya adalah pengurus. Pemasukan utama kami adalah iuran bulanan dengan besaran Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu per bulan,” kata Zulfikar yang menjabat sebagai Direktur Utama di Media Mahasiswa.
Pengekangan kebebasan berekspresi dalam kampus
Di sisi lain, pengekangan berekspresi juga masih banyak terjadi di wilayah kampus. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dianns di Fakultas Ilmu Administrasi terus mendapat perlawanan dari pihak kampus Universitas Brawijaya ketika memutar dua film independen beberapa waktu lalu, Samin vs Semen dan Alkinemokiye.
Kegiatan pemutaran film dibubarkan paksa oleh pihak keamanan setempat ketika LPM tersebut melakukan bedah film tepat pada perayaan Hari Buruh, 1 Mei 2015 silam.
“Acara kami dibubarkan dengan paksa oleh petugas keamanan, sebelum pukul 21:00 malam, saat itu kami belum sempat memutar dua film itu hingga tuntas,” kata Incan, panitia acara bedah film Samin vs Semen dan Alkinemokiye.
Sebelumnya, mahasiswa sempat berencana untuk melaporkan oknum fakultas pada Komnas HAM dan Ombudsman RI, setelah mendapatkan kesulitan dan initimidasi saat mengajukan acara bedah film pada April. Namun rencana melaporkan itu urung dilakukan.
Soal pembubaran itu, juru bicara Universitas Brawijaya Anang Sujoko menyebut terjadi kesalahan waktu pelaksanaan. Mahasiswa, menurutnya, telah melakukan kegiatan di luar jadwal yang sudah disepakati. “Sebelumnya sudah sepakat pemutaran tanggal 5 Mei, tapi tiba-tiba mereka mengajukan lagi," kata Anang, Minggu, 3 Mei.
80 kasus kriminalisasi
Perlakuan buruk polisi juga menimpa jurnalis Tribun Lampung, Ridwan Hardianyah. Ridwan yang juga Sekretaris AJI Bandar Lampung tiba-tiba ditangkap dan digeledah rumahnya pada Rabu, 4 Maret 2015, lalu tanpa ada surat perintah penangkapan. Belakangan diketahui, polisi salah orang. Namun peristiwa ini terlanjur membuat korban trauma bertemu polisi sehingga mengganggu kerja-kerja jurnalistik Ridwan.
“Belum lagi kasus Udin, sudah 18 tahun kasus terbunuhnya jurnalis harian Bernas Yogyakarta, tidak terungkap sampai saat ini,” lanjut Eko.
Total, sampai hari ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis ada delapan kasus pembunuhan jurnalis tanpa ada pengusutan terhadap pelaku.
Tujuh jurnalis lainnya adalah:
  1. Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997)
  2. Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999)
  3. Muhammad Jamaludin (jurnalis TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003)
  4. Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29 Desember 2003)
  5. Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006)
  6. Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010)
  7. Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18 Desember 2010).
Polisi musuh kebebasan pers 2015
Dengan demikian, AJI juga menetapkan Kepolisian sebagai musuh kebebasan pers 2015. Bertumpuknya berbagai kasus pembunuhan pada jurnalis yang tak terungkap dan kriminilisasi yang terus terjadi menjadi salah satu indikator polisi telah gagal mereformasi diri sebagai sebagai pelayan dan pengayom publik.
“Ini adalah kali ke empat Polisi menjadi musuh kebebasan pers sejak tahun 2007 lalu. Presiden Joko Widodo harus melakukan reformasi besar-besaran kepolisian untuk berubah,” kata Eko.
Selain itu, kebebasan pers tahun ini juga belum berlangsung di seluruh nusantara. Di Papua misalnya, kebebasan pers masih terkekang. Lembaga clearing house telah dipakai untuk membatasi akses setiap jurnalis asing yang ingin meliput di Papua. Setiap jurnalis asing yang berhasil mendapat akses liputan ke Papua, kerap dikuntit atau dikawal dalam melakukan pekerjaannya sehingga jurnalis tidak leluasa dalam menjalankan tugas publiknya.
Jurnalis lokal pun kerap mendapatkan intimidasi dan bahkan terdapat beberapa kasus pembunuhan atas jurnalis. “Keterbukaan akses jurnalis di Papua justru akan memberikan informasi yang lebih kredibel dan dapat dipercaya, dapat pula menjadi mata dan telinga terpercaya bagi pemerintahan Indonesia,” ujar Eko. (sumber:rappler)